Selasa, 25 Maret 2008

Course Outline PPMDI

A. IDENTITAS MATA KULIAH;
Nama Mata Kuliah : Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam
Kode Mata Kuliah :
Semester/TA : VI (enam) 2007/2008
Jurusan/Prodi : Tarbiyah (PAI) A dan C
Prasyarat :
Jumlah sks : 2 (dua)
Waktu Kuliah : Rabu dan Kamis


B. STANDAR KOMPETENSI:
Mahasiswa memahami dan menguasai sejarah perkembangan pemikiran modern di dunia Islam dan di Indonesia dengan masing-masing corak dan karakteristiknya masing-masiing, serta mampu menganalisis implementasi pemikiran para tokoh pembaharu


C. DISKRIPSI MATERI PERKULIAHAN
Tatap Muka 1:
Dalam pertemuan pertama kali ini, yang diberikan adalah penjelasan tentang mata kuliah dan kontrak belajar.
Tatap Muka 2:
Pengertian tajdid, Fungsi tajdid, Arti penting tajdid, Latar belakang timbulnya tajdid (Historis, filosofis, dan politik), Kebutuhan Ijtihad dalam Tajdid, Lapangan dan objek bahasan, Periodisasi Tajdid
Tatap Muka 3 :
Membahas tentang Gerakan Pembaharuan di Mesir I:
a. Mohamad Ali
b. Al-Tahthawi
c. Jamaluddin al-Afghani
Membahas tentang Gerakan Pembaharuan di Mesir II:
d. Muhammad Abduh
e. Rasyid Ridha
Tatap Muka 5;
Gerakan Pembaharuan di Arab Saudi, yakni Gerakan Wahabiah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab
1. Asal Mula Gerakan Wahabiah
2. Gerakan Wahabiah dan Ibnu Saud
3. Pemikiran Politik Wahabiah
4. Aspek Pembaharuan dalam Wahabiah
Tatap Muka 6:
Gerakan pembaharuan di Turki I yang akan mengkaji gerakan pemikiran:
a. Sultan Mahmud,
b. Tanzimat,
Tatap Muka 7:
Gerakan Pembaharuan di Turki II yang akan membahas gerakan dan pemikiran tokoh-tokoh dalam:
a. Turki Muda,
b. Usmani Muda,
c. Mustafa Kemal dan Sekularisasi

Tatap Muka 8 : Panduan dan Pengarahan untuk Mengerjakan Tugas-tugas terstruktur sebagai nilai SUBSUMATIF. Tugas tersebut adalah membuat pemikiran beberapa tokoh yang dikirim melalui email.

Tatap Muka 9:
Gerakan Pembaharuan di India I yang membahas gerakan
a. Mujahidin
b. Gerakan Aligarh
c. Sayid Amir Ali

Tatap Muka 10:
Gerakan Pembaharuan di India II yang membahas pemikiran dan gerakan
a. Muhammad Ikbal
b. Ali Jinnah
c. Ahmadiyah

Tatap Muka 11: Bedah Pemikiran I
Mengenal Pemikiran Modern Tokoh Liberal Dunia, yakni:
1. Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha dan Abdullah Ahmad An-Naim
2.
Tatap Muka 12: Bedah Pemikiran II
Mengenal Pemikiran Modern Tokoh Liberal Dunia ke dua yakni:
1. Pemikiran Muh. Syahrur
2. Pemikiran Abid Al-Jabiri

Tatap Muka 13:
Gerakan Pembaharuan di Indonesia
1. Muhammadiyah
2. Persis
Tatap Muka 14:
1. Nahdhatul Ulama
2. dll

Tatap Muka 15: Bedah Pemikiran III :
Membedah pokok-pokok pemikiran
1. Harun Nasution
2. Nurcholis Madjid

Tatap Muka 16: UAS


D. ANALISIS MATERI
Mata Kuliah perkembangan pemikiran modern dalam Islam ini dimaksudkan untuk menggali metode pemikiran para tokoh pembaharu, selain memperkenalkan pola atau metode berpikir meraka, sehingga dapat diteladani oleh para generasi saat ini terutama dalam menghadapi perkembangan zaman yang senantiasa berubah. Untuk itu, pola pembahasan antara materi satu dengan yang lainnya hampir sama.
Komponen yang dikaji terutama dalam studi tokoh ini adalah sebagai berikut:
1. Profil tokoh, yang meliputi latar belakang kehidupannya
2. Kondisi sosial, Politik dan budaya saat itu yang dikaitkan dengan produk pemikirannya.
3. Produk pemikirannya
4. Analisis; Kritik dan Penilaian Pemakalah
5. Kesimpulan
6. Daftar Pustakan

E. METODE PEMBELAJARAN DAN PENUGASAN:
Metode Pembelajaran dalam perkuliahan ini dominan adalah menyusun makalah dan kemudian mempertanggungjawabkan hasil kerjanya dalam Diskusi Kelas, dan model pengembangan diskusi lain, seperti model: Buzz Group, Jig Saw Learning, dan sebagainya.
Selain itu juga ada beberapa penugasan analisis pemikiran beberapa tokoh dalam bentuk Resensi Tokoh Pemikiran.
Adapun dalam pembuatan makalah mengacu kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang diterbitkan oleh UPMA STAIN Samarinda. Namun secara umum, sistematikanya adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan
Berisi pengantar yang menjelaskan arah pembahasan dan menyambungkan antara pembahasan topik dikaitkan dengan perkembangan pemikiran lainnya. Bisa juga dengan mengangkat permasalahan di masyarakat atau rumusan masalah.
2. Pembahasan
a. Jika pemikiran tokoh: diawali dengan biografi dan karya tulis
b. Karakteristik pembaharuan di eranya masing-masing
c. Latar Belakang pembaharuannya (bisa dikaitkan dengan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi) (implementasi Metodologi Studi Islam)
d. Pola dan sasaran Pembaharuan
e. Aspek-aspek Pembaharuan yang dilakukannya
(semua pengutipan wajib memenuhi standar ilmiah salah satunya yakni ada catatan kaki. Polanya adalah nama pengarang, judul [miring], (tempat penerbitan: nama penerbit, tahun terbit), cet, halaman.
3. Referensi
Minimal 4 buku di luar Al-Quran, Hadis, kamus, dan ensiklopedi.
4. Penugasan Lainnya
Informasi tugas dan lain-lainnya bisa anda lihat di www.anis-masykhur.blogspot.com atau langsung ke www.kuliah-excellent.blogspot.com.

F. TEKNIK PENILAIAN
Teknik penilaian dalam mata kuliah ini dibagi ke dalam 3 katagori:
- Formatif : Kehadiran, Keaktivan Mengemukakan Pendapat dan Anaslisanya dengan prosentase 30 %
- Sub Sumatif : Pembuatan Makalah, Presentasi, dan Perbaikan Makalah (proses konsultasi) dengan prosentase 40%
- UAS/Sumatif : Ujian akhir dan penyerahan hasil akhir perbaikan makalah dengan prosentase 30%

Membunuh Pendidikan

Oleh Posman Sibuea

Belakangan ini muncul beragam kritik terhadap praktik pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah proses pembelajaran yang berlangsung hanya sekadar mengejar target pencapaian kurikulum. Hal ini telah berlangsung lama dan menjadi proses yang membunuh pendidikan.

Fenomena ini menjadi topik diskusi aktual dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini untuk mengingatkan pendidikan di Indonesia dibayang-bayangi kerapuhan nilai.

Ketika proses pendidikan diarahkan semata mengejar pencapaian tujuan kurikulum, institusi sekolah telah diposisikan sekadar pabrik yang membidani lahirnya tukang yang ahli pada bidang tertentu. Perakitan produk akhir demikian bermuara kepada proses matinya pendidikan.

Secara perlahan tapi pasti, sekolah direduksi menjadi semacam arena pendidikan dan latihan (diklat) untuk mengondisikan lulusan siap pakai.

Bahwa sekolah mempersiapkan alumninya ke pasar kerja, jelas hal penting. Namun, dalam tataran kebudayaan, tujuan ini tidak seluruhnya benar karena lembaga pendidikan tidak semata pusat pemintaran intelektual.

Secara pedagogis adalah sesat jika keberhasilan kognitif terlalu didewa-dewakan sebagai alat representasi prestasi siswa di sekolah dan memarjinalisasi sistem pendidikan nilai yang berkaitan dengan budi pekerti.

Semakin kabur

Revitalisasi pendidikan nilai yang dapat membentuk budi pekerti kian penting dimaknai ketika dalam kehidupan masyarakat makin kabur kriteria moral yang dapat digunakan sebagai acuan untuk berperilaku. Ketika di sekolah terjadi penganiayaan fisik, lembaga pendidikan yang menaburkan benih-benih demokratisasi ini bukan lagi tempat yang steril dari segala macam bentuk kekerasan.

Kasus kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang menewaskan praja Cliff Muntu dan penembakan di Virginia Tech University, Amerika Serikat, yang menewaskan 33 orang—salah satunya warga negara Indonesia, Partahi Mamora H Lumbantoruan— merupakan serpihan contoh yang menyadarkan bahwa kekerasan kerap berulang di sekolah.

Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara adikuasa seperti Amerika Serikat yang mengedepankan kepentingan hak asasi manusia. Kasus kekerasan fisik di IPDN amat memprihatinkan sebab terjadi di lingkungan pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat belajar yang jauh dari tindak kekerasan.

Ironisnya, pendidikan yang diwarnai dengan tendangan bebas ke dada mahasiswa dan pukulan bertubi-tubi mematikan ke ulu hati terjadi di sekolah yang justru diadakan untuk menggodok para pemimpin bangsa di masa datang.

Pertanyaannya, calon pemimpin seperti apa yang bisa diharapkan menetas dari lembaga pendidikan yang mengedepankan otot ketimbang otak itu? Kekerasan di dunia pendidikan tidak pernah surut. Benih kekerasan yang disemaikan dalam media perpeloncoan, misalnya, terus diwariskan kepada generasi berikutnya dan menjadi awan gelap yang menutupi pancaran sinar pencerahan pendidikan nilai.

Meski perpeloncoan sudah dihapus sejak tahun 1995, kegiatan ini masih terus bergulir seperti bola salju di sejumlah kampus untuk menumbuhkan disiplin bagi mahasiswa baru.

Ada dugaan, perpeloncoan yang dikemas dalam bingkai pendidikan ala militer yang bias acap menjadi pembenaran bagi senior untuk menindas mahasiswa baru. Perpeloncoan dengan hukuman fisik bukan lagi situasi yang insidentil yang dilakukan antara senior dan yunior, tetapi sudah berubah menjadi suatu situasi massal yang sistematis dan terorganisasi secara rapi.

Ujian nasional

Proses yang membunuh pendidikan, pemaknaannya terus bergerak melewati ruang kekerasan fisik untuk menukik masuk ke dalam sistem kekerasan bentuk lain.

Perilaku agresif untuk menekan atau menyerang dengan kata-kata (bullying), seperti ejekan untuk mempermalukan, hinaan, tekanan, dan fitnah, dengan maksud mendehumanisasi orang lain dapat disebut telah melakukan tindak kekerasan dalam bentuk lain.

Pelakunya tidak hanya siswa/mahasiswa senior, tapi kita sebagai orangtua (guru, dosen, pejabat, pemuka agama, elite politik, dan lain-lain) dapat melakukan bullying terhadap orang lain.

Tindakan bullying sudah menjadi keseharian dalam lembaga pendidikan di Tanah Air, mulai dari tingkat TK/SD hingga universitas. Korbannya tidak lagi hanya siswa yang gantung diri karena sering diejek temannya sebagai anak tukang bubur. Korban lain adalah siswa SLTP yang meninggal beberapa waktu lalu di Semarang karena penyakit jantungnya kambuh tiba-tiba saat mengikuti ujian nasional (UN) 2007.

Beban depresi berat bisa dialami peserta UN karena berada di bawah tekanan dari pernyataan pemerintah mengenai UN sebagai penentu kelulusan.Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menanggapi kritik yang mempersoalkan kebijakan pemerintah mengenai UN sebagai penentu kelulusan. Wakil Presiden mengatakan, dunia pendidikan tak ubahnya seperti produk pakaian jadi. Konsumen tidak mempersoalkan bagaimana proses pembuatan
pakaian itu. Yang penting apakah setelah jadi, baju tersebut bagus atau jelek.

Semangat mengutamakan produk akhir dalam tujuan pendidikan kini kian mengental dengan terselenggaranya UN 2007—dengan sejumlah kecurangan yang terjadi—sebagai penentu kelulusan dan masuknya bimbingan tes ke sekolah lewat tender dengan alasan untuk mengatasi kepanikan siswa dalam menghadapi UN.

Itu artinya, proses yang membunuh pendidikan tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan karena UN telah berhasil mereduksi esensi dari makna belajar.

Dunia pendidikan kini berduka. Praktik pendidikan diperlakukan tak ubahnya seperti dunia persilatan yang mengutamakan otot dan dunia perdagangan yang mementingkan produk akhir yang bernilai ekonomis. Bagaimana produk itu dibuat seolah bukan urusan pejabat yang berwenang. Pada masa datang, proses pendidikan di sekolah tidak lagi semata pemintaran intelektual (kognisi), tetapi patut diarahkan juga kepada
pembentukan karakter (afeksi) yang menetaskan manusia berbudi pekerti yang mencerminkan pribadi dengan integritas moral yang tinggi guna melahirkan pemikir untuk menakhodai biduk bangsa ini.

Posman Sibuea Lektor Kepala di Unika St Thomas, Medan